Perkara mengenai pembolehan poligami dalam Islam selalu diperdebatkan, terlebih lagi pada era modern ini, dimana kaum wanita semakin memantapkan kesejajarannya terhadap kaum pria.
Dalam pengertian ilmu sosiologi, poligami adalah bentuk perkawinan dimana seorang pria menikahi beberapa wanita atau seorang perempuan menikah dengan beberapa Pria.
Poligami digolongkan menjadi dua jenis :
a. Poligini : Satu orang Pria memiliki banyak isteri.
b. Poliandri : Satu orang perempuan memiliki banyak suami.
Poligini lebih sering terjadi ketimbang poliandri. Kebiasaan berpoligami (poligini) merupakan warisan tradisi masa lampau ketika superioritas secara mutlak masih dipegang kaum lelaki yang coba tetap dipertahankan hingga saat ini. Ketika wanita masih disejajarkan dengan harta, maka wajar jika memilikinya lebih dari dua.
Berbicara masalah konsep keadilan, sangat jelas bahwa tidak mungkin ada manusia yang dapat memberikan rasa adil jika memiliki lebih dari satu pasangan. Terlebih lagi jika itu menyangkut perasaan.
Kita banyak mendengar dongeng mengenai raja bijak bestari yang pernah hidup di masa lampau, yang memiliki rasa keadilan hampir tiada tanding pada masanya. Tetapi sayangnya, dari sekian banyak wanita yang menjadi istrinya, hanya satu yang dijadikan ratu, sisanya hanya bergelar selir semata. Bahkan dalam sejarah, umat muslim mengetahui bahwa diantara istri-istrinya, Siti Aisyah merupakan istri yang paling disayang Nabi Muhammad. Ini membuktikan bahwa manusia sekaliber beliau-pun tidak dapat membuktikan konsep keadilan tersebut.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. ” (An-Nisaa’: 129)
Jadi, ketika tercetus wacana ingin berpoligami dalam sebuah rumah tangga dan yakin akan dapat berbuat adil, jika dilihat dari sudut pandang perasaan, maka hal tersebut hanyalah pepesan kosong belaka.
Lalu apa yang dimaksud dengan adil dalam berpoligami?
Sebagian ulama muslim mengartikannya sebagai berikut, merujuk pada sebuah hadits:
Pada sebuah riwayat Aisyah Radhiyallahu’anha, ia berkata:
Beliau biasa membagi hak di antara istri-istrinya lalu beliau berdoa: “Ya Allah, inilah usahaku membagi terhadap apa yang aku mampu, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau mampu sedangkan aku tidak mampu. ”
(Riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi, An-Nasal, dan Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Dari rujukan hadits tersebutlah, sebagian ulama muslim (ulama Pria) menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan konsep keadilan adalah suatu usaha yang masih berada pada kendali manusia, seperti pembagian waktu, harta dan hak duniawi sang istri. Terlepas dari kemampuan manusia untuk mengaturnya, seperti hati dan perasaan, adalah terbebas dari tanggung jawab manusia tersebut.
Ruang Opini
setahu saya, kekuatan hukum Al'Quran lebih tinggi ketimbang Hadits, melihat pada surat An-Nisaa tersebut, mestinya poligami diharamkan.
BalasHapus